Lembu Swana (Simbol Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura) |
Kerajaan Kutai Kartanegara
Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura |
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13, berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama sebagai kerajaan baru (sebelumnya sudah ada Kerajaan Kutai Martadipura, berdiri sekitar abad ke 4, di daerah Muara Kaman) dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).
Lambang Kesultanan versi berbeda |
Dengan adanya dua kerajaan di
kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16
terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara
dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan
Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura.
Kesultanan Kutai Kartanagera Ing Martadipura
Bendera Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura |
Pada abad ke-17 agama Islam diterima
dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang
akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan
raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam
adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Pemindahan Ibu Kota Kesultanan
Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai
Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan. Sultan Aji Muhammad Idris yang
merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi
Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan
Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris
gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh
Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan
ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan
menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai
putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh
kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak
itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan siasat
embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat
dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan.
Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil
merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum
mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal
28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit
masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian
Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga
Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Aji Amir Hasanuddin (Aji Pangeran Sosronegoro) Pendiri Masjid Jami' Hasanuddin |
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai
Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada
tahun tersebut.
Serangan Kapal Inggris
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang
pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke
Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif
untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan
Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran
Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan
meriam kearah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat
dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas.
Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri
termasuk diantara yang tewas tersebut.
Pendudukan Belanda atas Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura
Keraton Sultan A.M. Sulaiman |
Insiden pertempuran di
Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan
balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu
bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut
dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft
dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft
menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima
perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah
berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai
Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan
Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan
A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa
Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi
administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan.
Sultan A.M. Sulaiman |
Pada tahun 1850, Sultan A.M.
Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.
Pada tahun 1853, pemerintah Hindia
Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan
politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada tahun 1863, kerajaan Kutai
Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati
bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Sultan A.M. Sulaiman, Putra Mahkota dan para Menteri |
Tahun 1888, pertambangan batubara
pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten.
Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran
wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara
menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di
Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat
dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katholik
pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada
Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta
dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu
putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran
Mangkunegoro.
Keraton Sultan A.M Alimuddin |
Pada tanggal 14 Nopember 1920,
Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Parikesit.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai
berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co.
Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus
yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar
3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Sultan A.M. Parikesit |
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit
mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun
waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Pendudukan Jepang atas Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martadipura
Ketika Jepang menduduki wilayah
Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang
memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Masa Kemerdekaan Indonesia
Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk
kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan,
Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27
Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi
Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat
kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No.
27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan",
wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960,
bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur
Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan
mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Keraton Sultan A.M. Parikesit (Beralih fungs menjadi Museum Mulawarman) |
Sehari kemudian, pada tanggal 21
Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang
Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan
dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden
Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda)
dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura di hidupkan kembali
Kedaton Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II |
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais
berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud
untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta
untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan
merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan
Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Sultan H. A.M. Salehuddin II |
- Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara
- Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura
- Wikipedia Indonesia