Lancana dan Pataka Kesultanan Banjar |
Keraton Kesultanan Banjar di Tepi Sungai Mesa (1857) |
Sejarah
Cap Kesultanan Banjar |
Sebelum berdirinya Kesultanan Banjar, terlebih dahulu telah berdiri Kerajaan Nan Sarunai, Kerajaan Negara Dipa dan Kerjaan Negara Daha. Cikal bakal Kesultanan Banjar berawal dari suksesi perebutan tahta raja di Kerajaan Negara Daha, perebutan tahta ini terjadi antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung.
Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin Utara |
Kesultanan Banjar di Tepi Sungai Mesa |
Syarat dari Kesultanan Demak dipenuhi oleh Raden Samudera dengan mengubah agama negara yang sebelumnya Hindu menjadi Islam. Dan nama Raden Samudera juga berganti menjadi Sultan Suriansyah. Status Kerajaan Banjar berubah menjadi Kesultanan Banjar. Akhirnya pada tanggal 24 September 1526 M, berdirilah Kesultanan baru di Banjarmasin dengan nama Kesultanan Banjar, dengan Sultan pertama Raden Samudera bergelar Sultan Suriansyah.
Masa Kejayaan Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada
sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur
pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya
Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada
masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak
lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615
untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan
Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit. Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya
atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa
seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan
Surabaya (1625). Pada tahun 1622
Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan
sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang
cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari
kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana,
Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan
Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan
sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi
dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi
politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh
yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan
menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan
Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637
Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang
tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit (duit=logat banjar).
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir
pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya
bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar
Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan
Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.
Pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar
Pangeran Muhammad Aminullah |
Perebutan tahta berawal ketika Sultan Kuning Wafat pada tahun 1734 M dengan meninggalkan seorang putra yang masih berumur 5 tahun yang bernama Muhammad Aminullah. Lalu adik Sultan Kuning bernama Hamidullah diangkat menjadi pengampu tahta sementara dengan bergelar Sultan Tamjidillah I.
Setelah Muhammad Aminullah dewasa dan meminta tahta Kesultanan Banjar, ternyata Sultan Tamjidillah I tidak memberikan hak tersebut kepada Muhammad Aminullah, dan hanya diberi jabatan Mangkubumi dan dikawinkan dengan puteri Sultan Tamjidillah I.
Belanda yang sejak awal berniat menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Banjar melihat peluang untuk mendekati salah satu pihak dalam perebutan tahta. Belanda akhirnya mendekati Sultan Tamjidillah I. Dan dengan bantuan Belanda, Muhammad Aminullah terus dipojokkan dengan cara "ditahan", di istana. Tetapi pada tahun 1753 M, Muhammad Aminullah berhasil melarikan diri ke Tabanio, suatu daerah di Tanah Laut.
Ditempat tersebut, Muhammad Aminullah berkomplot dengan beberapa bajak laut dan membangun markas perlawanan dengan tujuan awal mengacau jalur perdagangan dari dan menuju ke Kesultanan Banjar. Sebagai balasan atas jasanya dalam mendesak Muhammad Aminullah untuk keluar dari istana, Belanda memaksa Sultan Tamjidillah I untuk menanda tangani perjanjian perdagangan lada hitam tahun 1747 M dan mengijinkan membangun kantor di Tabanio.
Makam Sultan Tamjidillah I |
Makam Sultan Tahmidillah II |
Sama dengan ayahnya, Sultan Tahmidillah II juga memutuskan secara sepihak dengan menyatakan bahwa pengganti dirinya sebagai Sultan di Kesultanan Banjar adalah puteranya yang bernama Pangeran Sulaiman Saidullah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sultan Tahmidillah II selepas sholat Jumat pada bulan Januari 1767. Akibat pernyataan tersebut, maka peluang bagi Pangeran Abdullah maupun Pangeran Amir untuk menduduki tahta di Kesultanan Banjar praktis telah tertutup.
Pada tahun 1772 M, ketika Pangeran Abdullah berusia 18 tahun, bersama seorang Belanda bernama W.A. Palm, Pangeran Abdullah berencana merebut kembali tahta Kesultanan Banjar. Akan tetapi ternyata rencana itu telah diketahui oleh Sultan Tahmidillah II. Dengan berpura-pura mengundang jamuan makan malam, Pangeran Abdullah diracun, dicekik dan dibunuh oleh kaki tangan Sultan Tahmidillah II. Kejadian ini berlangsung pada tanggal 16 Maret 1776.
Pembunuhan terhadap Pangeran Abdullah berimbas langsung terhadap Pangeran Amir. Sultan Tahmidullah II memaksa "secara halus" kepada Pangeran Amir untuk keluar meninggalkan Kesultanan Banjar. Pada tahun 1782 M, Pangeran Amir meninggalkan Kesultanan Banjar menuju daerah Pasir. Di daerah tersebut terdapat paman beliau, seorang keturunan Bugis bernama Arung Torawe. Arung Torawe adalah saudara dari ibu Pangeran Amir yang merupakan seorang puteri berdarah Bugis.
Pangeran Amir menyusun kekuatan di Pasir dengan Arung Tolawe untuk merebut tahta di Kesultanan Banjar. Pada bulan Oktober 1785, pasukan Pangeran Amir dan Arung Tolawe yang terdiri dari sekurangnya 60 kapal menyerang Kesultanan Banjar dan mendarat di Tabanio, dan mulai merebut benteng-benteng yang termasuk didalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banjar.
Pada tanggal 14 Maret 1786, kekuatan Kesultanan Banjar yang di bantu oleh Belanda mampu mematahkan perlawanan Pangeran Amir yang dibantu orang-orang Bugis. Pangeran Amir akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Ceylon (Srilanka) pada tahun 1789 M.
Pada tanggal 13 Agustus 1787, setelah perang. Belanda meminta kompensasi kepada Sultan Tahmidullah II berupa lada, emas, permata (intan), serta izin untuk mendirikan kantor di Tabanio, Hulu Sungai, Pulau Kaget dan Tatas. Perjanjian antara Kesultanan Banjar yang diwakili Sultan Tahmidillah II dengan Belanda yang diwakili oleh Kapten Christoffel Hoffman.
Makam Sultan Sulaiman Almutamidullah di Karang Intan |
Sultan Adam Al Wasik Bilah |
Masa Perlawanan terhadap Belanda
Akar permasalahan perlawanan terhadap Belanda dimulai dari perebutan tahta. Perebutan ini diawali dari meninggalnya Putera Mahkota Kesultanan Banjar, Sultan Muda Abdurrahman, pada tahun 1852 M. Meninggalnya Putera Mahkota meninggalkan bibit-bibit perpecahan di Kesultanan Banjar.
Pihak-pihak yang bertikai terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu pertama, Pangeran Tamjidillah yang mempunyai kedekatan dengan Belanda. Beliau adalah anak dari hasil perkawinan anatara Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang selir bernama Nyai Besar Aminah. Kedua, Pangeran Hidayatullah yang mempunyai kedekatan dengan rakyat di Kesultanan Banjar. Beliau adalah anak dari hasil perkawinan kedua Sultan Muda Abdurrahman denagn Permaisuri Ratu Siti, puteri Mangkubumi Nata. Perkawinan pertama Sultan Muda Abdurrahman dengan Permaisuri Ratu Antarsari, saudara perempuan Pangeran Antasari, tidak menghasilkan putera. Ketiga, Pangeran Anom, adik dari Sultan Muda Abdurrahman yang mempunyai kedekatan dengan birokrasi istana.
Dari ketiga kelompok tersebut, Pangeran Tamjidillah mempunyai kedudukan yang menguntungkan karena kedekatannya dengan Belanda. Hal ini dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Pangeran Tamjidillah untuk menguatkan posisinya dalam menduduki jabatan sebagai Sultan. Di sisi lain, Belanda juga mempunyai kepentingan di Kesultanan Banjar. Dengan diangkatnya Pangeran Tamjidillah sebagai sultan, maka secara langsung kepentingan dan pengaruh Belanda di Kesultanan Banjar akan terjamin.
Sikap belanda terbukti dengan secara sepihak mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai putera mahkota pada tanggal 8 Agustus 1852. Sementara itu, pada tanggal 9 Oktober 1856, Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi.
Pada tanggal 1 Novemver 1857, Sultan Adam Al Wasik Billah meninggal dunia. Pada tanggal 3 Novemver 1857, secara sepihak, Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan di Kesultanan Banjar dengan gelar Sultan Tamjidillah II. Di sisi lain, untuk menghindari perebutan tahta, Belanda menangkap Pangeran Anom dan membuangnya ke Jawa.
Pangeran Hidayatullah |
Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris tahta yang sah, secara bertahap berusaha merebut pengaruh dari bangsawan, pemimpin daerah di wilayah Kesultanan Banjar dan rakyat. Dukungan dari kaum bangsawan datang dari orang-orang seperti Nyai Ratu Komala Sari, istri almarhum Sultan Adan Al Wasik Billah dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma Negara, Ratu Aminah dan Ratu Keramat, serta Pangeran Antasari. Dukungan dari pemimpin daerah datang dari Panembahan Muda Datu Aling, pemimpin Gerakan Muning, dan Jalil, pemimpin daerah Banua Lima.
Besarnya dukungan terhadap Pangeran Hidayatullah membuat Sultan Tamjidillah II merasa terdesak. Beliau kurang mendapat dukungan dari Belanda karena Belanda menganggap sengketa perebutan tahta di kalangan bangsawan di Kesultanan Banjar adlah persoalan internal yang tidak secara langsung berpengaruh terhadap kepentingan Belanda. Akhirnya, karena dilanda ketakutan akan pecahnya kudeta terhadap dirinya, Sultan Tamjidillah II melarikan diri ke Banjarmasin pada bulan April 1859.
Karena Sultan Tamjidillah II melarikan diri, praktis terjadi kekosongan pemerintahan di Kesultanan Banjar. Untuk mengantisipasinya, Belanda mengambil alih secara langsung pemerintahan Kesultanan Banjar dan meletakkannya di bawah pemerintahan seorang residen yang bernama Residen von Bertheim.
Pangeran Antasari |
Pertempuran di Benteng Gunung Tongka |
- Tanggal 28 April 1859, terjadi serangan pertama yang dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari. Dengan kekuatan sekitar 300 orang, Pangeran Antasari memimpin penyerbuan ke benteng Belanda di Pangaron. Setelah itu beberapa pertempuran lain kemudian meletus, antara lain, pertempuran di benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 September 1859, pertempuran di kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859.
Kapal Onrust |
- Penenggelaman Kapal Onrust di Sungai Barito oleh Tumenggung Surapati, seorang tokoh dari Suku Dayak Siang, pada tanggal 26 Desember 1859, penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah hulu Kuala Kapuas oleh tumenggung Surapati dan Pambakal Sulil, yang mengakibatkan Letnan Bichon tewas terkena tombak pada penyerangan itu, pertempuran di Leogong pada tanggal 11 Februari 1860 yang mengakbatkan mundurnya 2 kapal perang Belanda Suriname dan Boni akibat lambung kapal Suriname bocor setelah ditembak dengan meriam dari arah daratan.
Pertempuran Kotta-mara dengan Kapal Perang Celebes |
- Pada 22 Februari 1860, kembali kapal perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda, Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang Onrust yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit dan pertempuran di Amawang pada tanggal 31 Maret 1860.
- Pada tanggal 28 Januari 1862, Pangeran Hidayatullah menyerah kepada Belanda dengan alasan kesehatan. Tetapi karena Belanda bermaksud untuk membuang Pangeran Hidayatullah ke Jawa, maka beliau akhirnya melarikan diri. Hanya berselang satu bulan, tepatnya pada tanggal 28 Februari 1862, Pangeran Hidayatullah kembali menyerah kepada Belanda. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 1862, dengan menggunakan kapal api Bali, Pangeran Hidayatullah dan keluarga dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Beliau meninggal di pembuangan pada tahun 1904.
- Setelah pembuangan Pangeran Hidayatullah, pemimpin tertinggi perlawanan dalam Perang Banjar diambil alih oleh Pangeran Antasari. Pada tanggal 14 Maret 1862, Pangeran Antasari diangkat sebagai pimpinan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar). Beliau menyandang gelar Panembahan Amir Oedin Khalifatul Mukminin. Upacara penobatan beliau dilaksanakan di hadapan para kepala Suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan, yaitu Kiai Adipati Jaya Raja.
- Jika ditarik dari garis keturunan, ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amin bin Muhammad Aminullah bin Sultan Kuning, jadi sebenarnya Pangeran Antasari adalah pewaris tahta Kesultanan Banjar yang sah, sebelum terjadinya "pengusiran" atas pewaris tahta Kesultanan Banjar sah, Muhammad Aminullah, oleh Sultan Tamjidillah I. Akan tetapi kedudukan Pangeran Antasari sebagai pemimpin tertinggi yang diakui oleh rakyat di Kesultanan Banjar ternyata tidak berlangsung lama. Pada tanggal 11 Oktober 1862, Pangeran Antasari dikabarkan telah meninggal dunia karena penyakit cacar dan dimakamkan di Desa Bayan Bengok, di Hulu Sungai Teweh.
- Pengganti Pangeran Antasari adalah puteranya yang bernama Muhammad Seman. Di mata rakyat, beliau merupakan Sultan Kesultanan Banjar terakhir yang mendapatkan tugas utama untuk menggantikan sang ayah dalam menjaga nyala api perlawanan dalam Perang Banjar. Perlawanan Muhammad Seman terpaksa harus berhenti karena beliau meninggal dunia dalam suatu pertempuran melawan Belanda di sungai Manawing pada tahun 1905. Beliau dimakamkan di Puncak Gunung Puruk Cahu.
- Dengan meninggalnya Muhammad Seman, berarti riwayat Kesultanan Banjar juga telah berakhir. Setelah Perang Banjar (1859-1905), Belanda membuat beberapa keputusan, antara lain Kesultanan Banjar dihapuskan dan seluruh bekas daerah Kesultanan Banjar di masukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Dengan demikian berakhirlah riwayat Kesultanan Banjar yang telah berlangsung selama 379 tahun.
Sultan Kesultanan Banjar
- Sultan Suriansyah (1520 - 1546)
- Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1546 - 1570)
- Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah (1570 - 1595)
- Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I (1595 - 1638)
- Sultan Inayatullah bin Sultan mustain Billah (1642 - 1647)
- Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah (1647 - 1660)
- Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah (1660 - 1663)
- Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah (1663 - 1679)
- Sultan Agung/ Pangeran Suryanata II bin Sultan Inayatullah (1663 - 1679)
- Sultan Amrullah Bagus Kasuma/ Suria Angsa/ Saidillah bin Sultan Saidullah (1679 - 1700)
- Sultan Tahmidullah I/ Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah (1700 - 1717)
- Panembahan Kasuma Dilaga/ Tahlilullah (1717 - 1730)
- Sultan Il-Hamidullah/ Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I (1730 -1734)
- Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I bin Sultan Tahmidullah I (1734 - 1759)
- Sultan Muhammadillah/ Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/ Sultan Kuning (1759 - 1761)
- Sunan Nata Alam bin Sultan Tamjidullah I (1761 - 1801)
- Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/ Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II (1801 - 1825)
- Sultan adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Al-Mutamidullah (1825 - 1857)
- Sultan Tamjidullah II al Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam (1857 - 1859)
- Sultan Hidayatullah Khalilullah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam (1859 - 1862)
- Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1862)
- Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862-1905)
- Pangeran Khairul Saleh, trah Sultan Sulaiman (2010)
sumber :