Beruang Madu

Beruang Madu

Tuesday, September 18, 2012

Kerajaan Negara Dipa

Candi Laras
Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan bercorak Hindu yang pernah eksis di kawasan yang sekarang termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan. Kerajaan Negara Dipa merupakan kelanjutan dari Kerajaan Nan Sarunai yang runtuh akibat serangan dari Kerajaan Majapahit. Dan merupakan salah satu titik penting dalam sejarah perjalanan berdirinya Kesultanan Banjar.




Sejarah
Kemunculan Kerajaan Negara Dipa sangat berkaitan dengan keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai. Pada tahun 1355 Masehi, Raja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit, memerintahkan seorang panglimanya yang bernama Empu Jatmika untuk memimpin armada perang dengan misi menaklukkan Kerajaa Nan Sarunai dan menjadikannya sebagai bagian dari Kerajaan Majapahit. Peristiwa tentang penyerbuan angkatan perang Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Nan Sarunai ini dikisahkan dalam Hikayat Banjar dan diabadikan oleh para seniman lokal melalui tutur wadian (puisi ratapan) yang dilisankan dalam bahasa Maanyan. Mereka mengenang keruntuhan Kerajaan Nan Sarunai dengan menyebutnya sebagai peristiwa "Usak Jawa" atau Penyerangan oleh Kerajaan Jawa".
Candi Agung
Setelah berhasil mengalahkan peradaban orang-orang Suku Dayak Maanyan, Empu Jatmika kemudian membangun kerajaan baru di Pulau Hujung Tanah yang merupakan bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan baru ini diberi nama Kerajaan Negara Dipa. Nama "Dipa" diambil dari bahsa Dayak Maanyan, yakni "dipah ten" yang berarti "Kerajaan yang terletak di seberang". Pemberian nama dengan makna "Kerajaan yang terletak di seberang" sangat mungkin mengacu pada letak Kerajaan Negara Dipa yang berada di seberang lautan jika ditempuh dari Kerajaan Majapahit yang berlokasi di Jawa. Setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika memang memposisikan Kerajaan Negara Dipa yang dirintisnya sebagai wilayah taklukan yang mengabdi di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Menurut Hikayat Banjar, Empu Jatmika (Ampu Jatmaka) berasal dari Negeri Keling. Keling identik dengan Kediri, tepatnya Kediri bagian utara. Dalam Hikayat Banjar dikisahkan bahwa Empu Jatmika adalah putra dari seorang saudagar besar bernama Aria Mangkubumi yang beristrikan Siti Rara. Setelah Empu Jatmika beranjak dewasa, ia menikah dengan seorang perempuan bernama Sari Manguntur. Perkawinan ini dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama Lambung Mangkurta dan Mandastana.
Saat kedua anak Empu Jatmika menginjak usia remaja, Aria Mangkubumi jatuh sakit. Ketika kondisi kesehatan Aria Mangkubumi semakin kritis, ia memanggil anak dan kedua cucunya dan berpesan supaya mereka menjaga keutuhan seluruh anggota keluarga dengan sebaik-baiknya dan tidak bersifat kikir serta berlaku adil kepada semua orang dengan mendengar keluhan atau permohonan dari setiap orang yang datang.
Selain itu, Aria Mangkubumi juga berwasiat agar Empu Jatmika pergi merantau ke luar dari negeri Keling karena di negeri ini banyak orang yang bertabiat tidak baik, seperti perasaan iri hati serta rasa dengki. Aria Mangkubumi berpesan, Empu Jatmika harus mencari negeri yang bertanah panas dan berbau harum. Untuk dapat mengetahui tanah yang dimaksud itu, Empu Jatmika dihimbau supaya menggali sekepal tanah yang didatanginya pada tengah malam dan dicium untuk merasakan aroma tanah itu. Apabila tempat yang memenuhi syarat-syarat itu telah berhasil ditemukan, Aria Mangkubumi menyarankan agar Empu Jatmika menetap di sana karena kehidupan di tempat itu akan dikaruniai rahmat dan kebahagiaan yang melimpah. Kesuburan dan kesejahteraan akan senantiasa diperoleh di tanah yang berbau harum itu sehingga segala jenis tanaman dapat tumbuh dengan subur. Selain itu, negeri tersebut akan didatangi banyak saudagar dari berbagai negeri sehingga membuantnya menjadi negeri yang besar dan makmur, serta akan terhindar dari serangan musuh. Namun, jika tanah yang ditemukan berbau harum namun terasa dingin, maka kebahagiaan dan kemakmuran hanya akan diperoleh sekedarnya saja. Negeri itu akan selalu terancam marabahaya dan akan menderita kesukaran yang tidak putus-putusnya. Tidak lama setelah menyampaikan pesan-pesan terakhir kepada anak dan cucunya, Aria Mangkubumi meninggal dunia. Empu Jatmika bertekad akan melaksanakan pesan-pesan ayahnya, yaitu mencari dan menemukan sebuah tempat yang tananhnya panas dan berbau harum.
Belum bisa dijelaskan apa hubungan antara Empu Jatmika dengan Kerajaan Majapahit. Karena pada saat Empu Jatmika memimpin penyerangan ke Kerajaan Nan Sarunai, ia adalah panglima yang diutus dari Kerajaan Majapahit. Kemungkinan besar, Empu Jatmika beserta keluarga mengabdi terlebih dahulu di Kerajaan Majapahit sebelum di tugaskan memimpin pasukan menuju Kerajaan Nan Sarunai. Mengingat saat itu Kerajaan Majapahit adalah sebuah imperium besar, dan Negeri Keling (Kediri) adalah Kerajaan taklukan dan tunduk pada kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1355 Masehi, Raja Majapahit memerintahkan Empu Jatmika untuk memimpin armada perang menuju Kerajaan Nan Sarunai. Kemungkinan besar Raja Majapahit itu adalah Raja Hayam Wuruk karena berkuasa sejak tahun 1350 M sampai 1389 M. 
Lambung Mangkurat
Empu Jatmika tiba di Pulau Hujung Tanah, tempat dimana Kerajaan Nan Sarunai berdiri. Turut dalam rombongan Empu Jatmika yang menuju Kerajaan Nan Sarunai antara lain adalah Sira Manguntur (istri Empu Jatmika), Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat (anak Empu Jatmika), seorang nakhoda kapal sekaligus ahli bahasa bernama Wiramarta, dua orang hulubalang yaitu Aria Megatsari dan Tumenggung Tatahjiwa, beserta pasukannya.  Ketika digali, ternyata tanah di Pulau Hujung Tanah ternyata panas laksana api dan harum wewangian daun pudak. Inilah ternyata tanah yang dimaksud oleh Aria Mangkubumi. Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Nan Sarunai, Empu Jatmika mendirikan kerajaan baru dengan nama Kerajaan Negara Dipa dan sebuah candi diberi nama Candi Laras, selain itu Empu Jatmika juga mendirikan balairung, istana, ruang sidang, menara dan istana. Dalam mengelola pemerintahan Empu Jatmika didampingi oleh Aria Megatsari sebagai patih kerajaan. Empu Jatmika tidak menobatkan dirinya sebagai raja, karena merasa bukan keturunan raja-raja. Hal ini juga dipesankan kepada Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana, bahwa keduanya juga tidak boleh menjadi raja. Ketika Empu Jatmika mangkat, Lambung Mangkurat dan Empu Mandastana melaksanakan pesan Empu Jatmika, yaitu mencari raja untuk Negara Dipa. Lambung Mangkurat melaksanakan semedi (belampah) di pinggir sungai besar, sedangkan Empu Mandastana bersemedi di pegunungan Meratus. Menurut mitos yang diyakini masyarakat setempat, ketika Lambung Mangkurat sedang bersemedi, tiba-tiba muncul buih yang bersinar dari pusaran air sungai dan kemudian menjelma menjadi seorang putri yang cantik jelita. Putri itu kemudian oleh Lambung Mangkurat disembah dan dipanggil dengan nama Putri Junjung Buih, yang berarti seorang putri yang muncul dari buih untuk dimuliakan menjadi ratu di Kerajaan Negara Dipa dan Lambung Mangkurat menjadi Mangkubumi Kerajaan Negara Dipa. 
Putri Junjung Buih
Putri Junjung Buih diyakini adalah anak perempuan dari penguasa terakhir Kerajaan Nan Sarunai yang sebelumnya ditaklukkan Empu Jatmika atas nama Kerajaan Majapahit. Atas dasar itulah Lambung Mangkurat berpendapat bahwa Puteri Junjung Buih inilah orang yang berhak memimpin Kerajaan Negara Dipa sepeniggal Empu Jatmika. Wilayah Kedaulatan Kerajaan Negara Dipa pada masa Ratu Junjung Buih adalah Batang Tabalong, Batang Balangan, Batang Pitap, Batang Alai, Batang Amandit dan Batang Amas.
Setelah Putri Junjung Buih diangkat menjadi ratu di Negara Dipa, Lambung Mangkurat merasa berkewajiban untuk mencarikan calon suami bagi sang ratu. Niat Lambung Mangkurat tersebut disetujui oleh Ratu Junjung Buih namun dengan syarat, bahwa calon suaminya harus mempunyai kekuatan adikodrati yang hanya bisa didapat melalui proses bersemedi. setelah mendengar syarat yang diinginkan oleh Ratu, Lambung Mangkurat kemudian pergi kesuatu tempat untuk bersemedi, Dari hasil semedinya, Lambung Mangkurat secra gaib bertemu dengan seorang pemuda bernama Raden Putra atau yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Suryanata. Dalam keyakinan Lambung Mangkurat, Raden Putra bukanlah manusia biasa, melainkan Putra Matahari.
Dalam kisah versi lain menngisahkan bahwa, Pangeran Suryanata adalah salah seorang Pangeran dari Kerajaan Majapahit. Raden Putra atau Pangeran Suryanata memiliki nama lain, yaitu Rahadyan Putra alias Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa. Rencana penobatan Pangeran Suryanata sebagai peimpin di Kerajaan Negara Dipa sebenanya sudah direncanakan oleh Raja Hayam Wuruk sejak Empu Jatmika masih mengelola Kerajaan Negara Dipa untuk sementara. Pada tahun 1362 M, Empu Jatmika mulai mempersiapkan prosesi penjemputan Pangeran Suryanata dari Kerajaan Majapahit. Akan tetapi, pada tahun 1362 M itu Empu Jatmika tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Akhirnya tugas penjemputan diambil alih oleh Lambung Mangkurat.
Pangeran Suryanata kemudian menikah dengan Ratu Junjung Buih dan mengemban tugas bersama-sama untuk memimpin pemerintahan Kerajaan Negara Dipa. Pada masa pemerintahan Pangeran Suryanata, pusat pemerintahan Kerajaan Negara Dipa berada disekitar Kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di pertemuan antara Sungai Tabalong dengan Sungai Balangan. Selama masa kepemimpinannya, Pangeran Suryanata berhasil memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Negara Dipa  dengan menaklukkan beberapa negeri lainm seperti Sukadana, Sambas, Batang Alai, batang Lawai, Kotawaringin, Pasir, Kutai, Karasikan, dan Berau. Pangeran Suryanata berkuasa di Kerajaan Negara Dipa selama kurang lebih 23 tahun, dari tahun 1362 M hingga 1385 M.
Sepeninggal Pangeran Suryanata, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa dipimpin oleh putra mahkota, yaitu Aria Dewangsa yang bergelar Pangeran atau Maharaja Surya Gangga Wangsa. Anak lelaki Pangeran Suryanata dengan Ratu Junjung Buih ini mengemban mandat sebagai Raja Negara Dipa sejak tahun 1385 M dan masa kekuasaanya berakhir pada tahun 1421 M. setelah era pemerintahan Maharaja Surya Gangga berakhir, tampuk kepemimpnan Kerajaan Negara Dipa dipercayakan kpada Raden Carang Lalean yang memerintah pada periode tahu 1421 sampai dengan 1436 M. Setelah itu, pemerintahan Kerajaan Negara Dipa diampu oleh seorang pemimpin perempuan yang bernama Putri (Ratu) Kalungsu pada kurun waktu 1436 M - 1448 M.
Terakhir, ketika masa pemerintahan Ratu Kalungsu berakhir pada tahun 1448 M, tampuk kepemimpinan Kerajaan Negara Dipa diteruskan oleh Raden Sekar Sungsang atau yang dikenal juga dengan nama Raden (Maharaja) Sari Kabungaran. Pada masa inilah Kerajaan Negara Dipa mulai menuai keruntuhannya akibat perselisihan internal, dan pada akhirnya muncul sebuah kerajaan aru penerus Kerajaan Negara Dipa, yaitu Kerajaan Negara Daha.

Raja-Raja Kerajaan Negara Dipa
Raja/ Ratu yang pernah berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, yaitu sebagai berikut :
Pertapaan Pangeran Suryanata

  1. Empu Jatmika (1355 M) - Pejabat dan Pelaksana pemerintahan Kerajaan Negara Dipa
  2. Lambung Mangkurat - Pejabat dan Pelaksana pemerintahan Kerajaan Negara Dipa pengganti Empu Jatmika, sebelum Putri Junjung Buih dinobatkan menjadi Ratu Kerajaan Negara Dipa dan menjadi Mangkubumi sampai masa awal pemerintahan Maharaja Sari Kaburangan
  3. Putri (Ratu) Junjung Buih (1362 M) - Ratu Kerajaan Negara Dipa bersama Lambung Mangkurat sebagai Mangkubumi
  4. Raden Putra bergelar Pangeran (Maharaja) Suryanata (1362 M - 1358 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa, memerintah Kerajaan Negara Dipa bersama-sama dengan Ratu Junjung Buih 
  5. Aria Dewangsa bergelar Pangeran (Maharaja) Surya Gangga Wangsa (1385 M - 1421 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa
  6. Raden (Maharaja) Carang Lalean (1421 M - 1448 M) - Raja Kerajaan Negara Dipa
  7. Putri (Ratu) Kalungsu (1436 M - 1448 M) - Wali Raja ketika Raden Sekar Sungsang masih berumur enam tahun
  8. Raden Sekar Sungsang bergelar Pangeran (Maharaja) Sari Kaburangan (1448 M) - Raja Terakhir Kerajaan Negara Dipa


Keruntuhan Kerajaan Negara Dipa
Sungai Nagara
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur Kebudayaan Jawa akibat dari pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa. Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Negara Dipa ini. Pada masa Maharaja Sari Kabungaran alias Raden sekar Sungsang, putera dari Putri Kabu Waringin alias Putri Kalungsu, untuk menghindari bala bencana ibukota dipindahkan dari Candi Agung karena dianggap sudah kehilangan tuahnya, untuk menyelamatkan dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir pada percabangan anak Sungai Bahan yaitu Muara Hulak. Negara Dipa terhindar dasi kehancuran total, bahkan dapat menata diri menjadi besar yang kemudian diganti dengan nama Negara Daha sehingga kerajaan disebut dengan nama yang baru sesuai dengan letak ibukotanya ketika dipindahkan yaitu Kerajaan Negara Daha. Nama sungai Bahan pun berganti menjadi Sungai Negara (Sungai Nagara).




sumber :