Beruang Madu

Beruang Madu

Thursday, September 20, 2012

Kesultanan Kotawaringin


Simbol Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".

Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran yang menjadi raja juga disebut dengan Sultan.
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin. Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.

Sejarah
Istana Lawang Agung Bukit Indra Kencana

Kerajaan Kotawaringin atau Kesultanan Kotawaringin merupakan satu-satunya kesultanan yang tercatat pernah berdiri di wilayah Kalimantan Tengah. Dan sejarah berdirinya Kesultanan Kotawaringin tidak lepas dari sejarah Kesultanan Banjar. Salah satu fakta sejarah ditunjukkan dalam buku "Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat"  karangan J.U. Lontaan dan G.M. Sanusi. Bahwa Pangeran Anta-Kasuma adalah salah satu keturunan dari Sultan Banjar. Awal mula pendirian Kesultanan Kotawaringin dimulai dari perseteruan yang melanda Kesultanan Banjar seputar perebutan kekuasaan antara Pangeran Adipati Tuha dan Pangeran Anta-Kasuma. Pangeran Adipati Tuha yang sebenarnya adalah kakak dari Pangeran Anta-Kasuma akhirnya memenangkan perebutan tahta yang mengantarkannya menduduki singgasana Kesultanan Banjar. Dan Pangeran Anta-KAsuma, memilih untuk meninggalkan Kesultanan Banjar guna mencari wilayah baru. Sikap sang adik direstui oleh Pangeran Adipati Tuha karena kebetulan sesuai dengan politik luar negeri kesultanan kala itu yang sedang dalam masa perluasan wilayah kekuasaan. 
Dayak Arut

Akhirnya rombongan Pangeran Anta Kasuma berangkat menuju wilayah baru. Perjalanan rombongan Pangeran Anta-Kasuma sampai di daerah yang bernama Rantau Pulut. Perjalanan diteruskan dan sampai di hulu Sungai Arut, daerah Pandau. Di hulu Sungai Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma bertemu dengan penduduk lokal, yaitu kumpulan dari sembilan kelompok suku yang berbeda, antara lain Suku Dayak Gambu, Arut dan Anom pimpinan Demang Petinggi di Umpang.
Prasasti Batu Patahan

Pada awal pertemuan, rombongan Pangeran Anta Kasuma hampir bentrok dengan Suku Dayak Arut, namun jalan damai dengan cara perundingan akhirnya lebih dipilih. Lewat jalan perundingan tersebut, Pangeran Anta Kasuma mengikat sumpah darah dengan Suku Dayak Arut yang ditandai dengan sebuah prasasti yang disebut Batu Patahan atau Panti Darah Janji Semaya. Prasasti ini sampai sekarang masih bisa dijumpai. Setelah berjumpa dengan Suku Dayak Arut, rombongan Pangeran Anta Kasuma melanjutkan perjalanan hingga sampai di daerah Tanjung Pangkalan Batu (Kotawaringin Lama). Di tempat ini rombongan mendirikan lanting (rumah apung dari kayu). Setelah bermukim cukup lama, PAngeran Anta Kasuma mendapatkan karunia seorang putri yang diberi nama Puteri Lanting. Di Tanjung Pangkalan Batu, Pangeran Anta Kasuma mencoba untuk mendirikan permukiman hingga berkembang menjadi bentuk kerajaan. 
Kerajaan ini dikenal dengan dengan nama Kerajaan Kotawaringin. Karena bentuk kerajaan yang masih terpengaruh oleh Islam dan karena cikal bakal pendirian Kerajaan Kotawaringin dilakukan oleh keturunan Sultan Musta'in Billah yang memeluk agama Islam, maka mulai dari awal berdiri Kerajaan Kotawaringin telah lazim disebut dengan nama Kesultanan Kotawaringin.
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan MajapahitPanembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan. 
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.
Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Musta'in Billah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). 
Istana Kuning
Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu. Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. 
Makam Kyai Gede
Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.



Masa Kejayaan Kesultanan Kotawaringin

Masjid Jami' Kotawaringin
Sultan pertama Kesultanan Kotawaringin adalah Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin. Beliau memerintah dengan dibantu oleh Kyai Gede. Pada masa pemerintahannya, sang sultan telah menetapkan batas wilayah kekuasaan dan membuat undang-undang yang dikenal dengan nama Kunan Kuntara. 
Pada masa pemerintahan Ratu Bagawan, beliau membangun Dalem Luhur atau Istana Luhur. Selain membangun Istana, sang Sultan juga membangun Perpatih (rumah patih) Gadong Bundar Nurhayati, Perdipati (rumah panglima perang) Gadong Asam, Pa'agungan (gudang untuk menyimpan peralatan perang yang terdiri dari senjata dan pusaka), membangun surau untuk keperluan ibadah, dan paseban sebagai tempat bagi para bawahan dan rakyat untuk menghadap sultan. Pembangunan yang dilakukan oleh Ratu Bagawan semata-mata bertujuan untuk meletakkan fondasi tata pemerintahan yang akan diwariskan kepada generasi setelahnya.
Pemerintahan Ratu Bagawan Kotawaringin berakhir dengan ditandai peralihan tahta kepada putranya yang bernama Pangeran Mas Adipati. Pada masa awal pemerintahan Pangeran MAs Adipati, beliau masih didampingi oleh Mangkubumi Kyai Gede. Tetapi di tengah-tengah menjalankan tugasnya sebagai mangkubumi, Kyai Gede meninggal dunia. Sebagai pengganti jabatan mangkubumi di Kesulatanan Kotawaringin, Pangeran Mas Adipati mengangkat Dipati Gading.
Pangeran Anum Kasuma Yudha
Pengganti Pangeran Mas Adipati adalah puteranya yang bernama Pangeran Panembahan Anum. Dalam menjalankan pemerintahan, beliau didampingin oleh Mangkubumi Dipati Gading. Selama hidup, Pangeran Panembahan Anum dikaruniai dua orang putra. Putra tertua yang bernama PAngeran Prabu akhirnya diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan kedudukan Pangeran Panembahan Anum.
Pangeran Prabu mempunyai 3 orang putera. Ketika telah selesai memimpin Kesultanan Kotawaringin, belaiu mewariskan tampuk kepemimpinan kepada putera tertuanya yang bernama Pangeran Dipati Tuha. setelah wafat Dipati Tuha digantikan oleh puteranya yang bernama Pangeran Penghulu. Pengganti Pangeran Penghulu adalah puteranya yang bernama Pangeran Ratu Bagawan. Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Bagawan, beliau membangun Masjid Jami Kotawaringin. Masjid ini dibangun karena surau yang telah dibangun pada masa Pangeran Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan Kotawaringin telah rusak. Pada masa inilah Kesulatanan Kotawaringin mencapai puncak kejayaannya.
Pangeran Ratu Bagawan membawa Kesultanan Kotawaringin ke puncak kejayaan. Sultan ke-7 ini menempatkan perdagangan sebagai tulang punggung perekonomian Kesultanan Kotawaringin. Pertanian dan hasil bumi yang melimpah dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Bahkan hasil kerajinan yang diproduksi oleh penduduk Kesultanan Kotawaringin laku di pasaran mancanegara. Kemajuan di sektor perekonomian tampaknya juga memacu perkawinan antarsuku dan menjadi magnet bagi para pendatang baru untuk bermukim di wilayah Kesultanan Kotawaringin.

Kemunduran dan Keruntuhan Kesultanan Kotawaringin
Masa kejayaan Kesultanan Kotawaringin tak berlangsung lama. Bersamaan dengan situasi diama kesultanan mencapai titik tertinggi dibidang perekonomian, muncul kebijakan baru dari negara induk, yaitu Kesultanan Banjar untuk menyerahkan Kesultanan Kotawaringin dibawah penguasaan Belanda.
Peralihan penguasaan Kesultanan Kotawaringin ternyata berdampak sangat besar. Pengalihan ini terutama berimbas pada sektor perekonomian dan pemerintahan.  Monopoli perdagangan yang sebelumnya dipegang Kesultanan Kotawaringin, kini diambil alih oleh Belanda.
Pada sektor pemerintahan, Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya "berkiblat" kepada Kesultanan Banjar kini beralih ke Pemerintahan Hindia Belanda. kesultanan Kotawaringin kini harus mengikat diri dengan Pemerintahan Hindia Belanda melalui penandatanganan perjanjian mengelola sumber daya alam di wilayah Kesultanan kotawaringin. Hal ini dikukuhkan dengan peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa Kesultanan Kotawaringin tidak lagi melaporkan pertanggung jawaban kepada Kesultanan Banjar, melainkan kepada Pemerintahan Hindia Belanda yang diwakilkan kepada seorang kontrolir Belanda yang berkedudukan di Sampit.
Perpindahan kekuasaan kemudian juga diikuti dengan perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan yang sebelumnya berlokasi di Kotawaringin Lama berpindah ke Sukabuni Indra Sakti atau dikanal dengan nama Pangkalan Bu'un (Pangkalan Bun). Kejadian ini terjadi ketika Kesultana  Kotawaringin diperintah oleh Pangeran Imanuddin pada tahun  1814. Besar kemungkinan perpindahan pusat pemerintahan tersebut juga dilandasi oleh faktor pangalihan kekuasaan.
Kekuasaan Belanda yang besar ini kemungkinan dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.
Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bu'un kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bu'un.
Penobatan Pangeran Ratu Anum Alamsyah
Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan diperintah oleh Sultan ke-12, PAngeran Paku Sukma Negara. Ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanuddin (Sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.
Pengaruh yangs sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesi nmemproklamirkan kemerdekaannya.

Bergabung dengan Republik Indonesia
Ketika kemerdekaan Indonesia berkumandang pada tanggal 17 Agustus 1945, Kesultanan Kotawaringin secara tegas menyatakan diri untuk masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap ini dikemukakan secara langsung oleh Sultan ke-14, yaitu Pangeran Ratu Anom Alamsyah. Sikap ini menimbulkan konsekuensi di pihak Kesultanan Kotawaringin, yaitu wilayah kesultanan dilebur ke dalam satu kesatuan Negara Republik Indonesia. Konsekuensi tersebut berimbas pada perubahan bentuk Kesultanan menjadi swapraja (setingkat dengan kewedanan).

Kebangkitan Kembali Kesultanan Kotawaringin
Pada Tanggal 1 Mei 1950, secara resmi  Swapraja Kotawaringin menjadi bagian dari Republik Indnesia. Meskipun sebenarnya Swapraja Kotawaringin telah dimasukkan ke Kabupaten Kotawaringin semenjak tanggal 27 Desembar 1949 berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1948.
Pangeran Muasyidin Syah
Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II memegang tampuk kekuasaan sebagai penguasa daerah swapraja sampai tahun1975. Pasca pemerintahan beliau zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengurus seorang pengurus harian bernama Pangeran Muasyidin Syah. Jabatan ini disandang oleh Pangeran Muasyidin Syah hingga tahun 2010. Pangeran Muasyidin Syah merupakan adik dari Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, sultan ke-13 Kesultanan Kotawaringin.
Penobatan Pangeran Ratu Alidin Alamsyah
sebagai Sultan ke-15 di Kesultanan Kotawaringin
Perubahan terjadi pada bulan Mei 2010. Kala itu muncul ide untuk mengangkat kembali peranan sultan sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Kotawaringin. Tetapi peran sultan yang ada sekarang berbeda dengan peran sultan ketika masih menjadi daerah sendiri sebelum dilebur menjadi satu kesatuan dibawah Pemerintah Republik Indonesia. Peran sultan sekarang sebatas sebagai simbol budaya.
Ide untuk kembali mengangkat simbol kemudian mendapat momentum ketika zuriat Kesultanan Kotawaringin bermufakat untuk mengangkat Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah sebagai sultan ke-15 Kesultanan Kotawaringin. Penobatan dilaksanakan di Istana Kuning, pada tanggal 16 Mei 2010. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah merupakan putra tertua dari Sultan ke-14 Kotawaringin, Pangeran Ratu Sukma Alamsyah.

Istana Kuning - Istana Kotawaringin
Sultan Kesultanan Kotawaringin
  1. Pangeran Adipati Anta Kasuma bergelar Ratu Bagawan
  2. Pangeran MAs Adipati
  3. Panembahan Kotawaringin
  4. Pangeran Prabu/ Panembahan derut
  5. Pangeran Dipati Muda
  6. Pangeran Panghulu
  7. Pangeran Ratu Bagawan
  8. Pangeran Ratu Anum Kasuma Yudha
  9. Pangeran Imanudin/ Pangeran Ratu Anom
  10. Pangeran Akhmad Hermasyah
  11. Pangeran Ratu Anom Alamsyah I
  12. Pangeran Ratu Sukma Negara
  13. Pangeran Ratu Sulma Alamsyah
  14. Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (meninggal tahun 1975)
  15. Pangeran Muasyidin Syah (pengurus harian Kesultanan Kotawaringin)
  16. Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (2010-sekarang)




sumber :